Laman

Kamis, 26 Mei 2011

HIPOTESIS SAPIR-WHORF

Hipotesis Sapir-Whorf lazim disebut teori relativitas bahasa. Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang linguis Amerika yang sangat memahami konsep-konsep linguistik Eropa sedangkan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah muridnya. Mereka banyak mempelajari bahasa-bahasa orang Indian.
Hipotesis ini sangatlah kontroversial dengan pendapat sebagian ahli. Menurut hipotesis Sapir-Whorf/ teori relativias linguistic menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan si pemakainya. Jadi bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari pebedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa, manusia tidak memiliki pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka cirri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budanya penuturnya. Contoh yang paling mendasar adalah kata rice dalam bahasa Inggris, dapat diterjemahkan menjadi tiga kata yang maknanya berbeda dalam bahsa Indonesia yaitu gabah, beras dan nasi. Ini menujukkan bahwa orang Indonesia lebih peduli pada benda ini daripada orang Inggris. Hal ini dapat digambarkan betapa pentingnya nasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga ada ungkapan yang mengatakan “belum makan kalau belum makan nasi”. Walaupun mereka sudah makan roti yang banyak, apabila belum makan nasi masih belum dikatakan makan yang sebenarnya.
Bahasa barat (Eropa) memiliki system kala (tenses), maka orang Barat sebagai penutur bahasa memperhatikan dan malah terikat dengan waktu. Mereka melakukan kegiatan selalu terikat dengan waktu. Begitu pun kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu terikat dengan waktu. Pada musim panas pukul 21.00 rembulan masih bersinar terang, tetapi anak-anak mereka (karena sudah menjadi kebiasaan) disuruh tidur karena katanya hari sudah malam. Pukul 01.00 (sesudah pukul 24.00) meskipun masih gelap gulita, bila bertemu mereka sudah akan saling menyapa dengan ucapan “selamat pagi” karena katanya hari sudah pagi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, maka menjadi tidak memperhatikan akan waktu. Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu atau beberapa jam kemudian. Itulah sebabnya ungkapan “jam karet” hanya ada di Indonesia.
Ilustrasi lain adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa daerah misalnya bahasa sunda. Dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu: abdi, kuring, ung, urang, kula, dewek dan aing, sedangkan untuk untuk orang kedua adalah andika, anjeun, aneh, silaing, sia. Kata “makan” dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
Neda, untuk makan sendiri
Tuang, untuk orang yang kita hormati
Dahar, untuk teman sebaya yang sudah akrab (anehnya dahar ini justru halus dalam bahasa Jawa setara dengan tuang dalam bahasa Sunda)
Nyatu, untuk hewan
Emam untuk anak kecil
“The social situation requires a far greater degree of rigidity. An extreme example found in Java, where society is divided into three distinct social groups. At the top are the aristocrats, in the middle are the townsfolk, and at the bottom are the farmers; each of these groups has a distinct style of speech associated with it”.
Hal ini menyebutkan tingkatan-tingkatan dalam bahasa merupakan hal yang menunjukkan keadaan dan situasi social dalam sebuah masyarakat. Ketika kita menggunakan bahasa daerah, sifat bahasa daerah yang berlapis-lapis itu, sadar ataupun tidak memaksa kita untuk memandang orang di hadapan kita dengan kategori tertentu sehingga bahasa daerah dapat dikatakan bersifat feodalistik, tidak egaliter baik dalam penggunaan kata ganti, kata sifat, maupun kata kerja berbeda dengan bahas inggris yang lebih egaliter. Kita menggunakan kata ganti orang pertama I dan kata ganti orang kedua you kepada siapapun, tak peduli apapun jabatan mereka baik dalam situasi formal maupun informal.
Hipotesis Sapir-Whorf menyatakan perbedaan berfikir disebabkan oleh bahasa ini. Orang Arab melihat realitas secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sesama bahasa Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita lalu, lalu kita memberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya bahwa kita membuat peta realitas tersebut, yang dilakukan atas dasar bahasa yag kita pakai, bukan atas dasar realitas itu. Umpamanya jenis warna di seluruh dunia ini sama, tetapi mengapa setiap bangsa yang berbeda bahasanya, melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Orang Inggris mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, grey. Penutur bahasa Hunanco di Filipina hanya mengenal 4 warna saja yaitu mabiru (hitam dan warna gelap), melangit (putih dan warna cerah), meramar (kelompok warna merah), malatuy (kuning, hijau muda, dan coklat muda).
Dalam penjelasan diatas secara implisit teori ini menyatakan bahwa:
1.Tanpa bahasa kita tidak dapat berfikir
2.Bahasa mempengaruhi persepsi
3.Bahasa mempengaruhi pola berfikir
Teori relativitas linguistic tidak hanya terikat dalam aspek linguistik akan tetapi mencakup ranah sosiologi, psikologi dan antropologi.

Kamis, 19 Mei 2011

MAKALAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

KOMPLEKSITAS PEMASALAHAN OTODA DI SULTRA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakekat ekonomi pada dasarnya harus diiringi dengan keseimbangan antara kewajiban dan hak. Keseimbangan kekuasaan antara pemerintah daerah, lembaga legislatif daerah dan masyarakat; keseimbangan antara tugas dan tanggungjawab, beban pekerjaan, anggaran yang tersedia dan prestasi kerja birokrasi. Untuk tercapainya keseimbangan ideal tersebut, maka otonomi daerah harus dikembalikan kepada hakekat yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang lebih menekankan kewajiban daripada hak.
Kewajiban mendasari suatu kesatuan masyarakat hukum, antara lain mengandung arti :
1. Kewajiban memilih pemimpinnya sendiri secara mandiri dan bertanggungjawab;
2. Kewajiban memilih / menentukan secara benar dan baik;
3. Kewajiban memiliki dan memanfaatkan kekayaan sendiri secara daya guna;
4. Kewajiban mengelola dan mengembangkan kekayaan alamnya sendiri secara berkelanjutan, lestari, serta fungsional;
5. Kewajiban memiliki pegawai sendiri secara profesional dalam arti kualitatif dan kuantitatif.
Penyelenggaraan ekonomi daerah dan desentralisasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak permasalahan muncul karena kemampuan daerahdaerah yang variatif, untuk ini perlu pengenalan dan kajian lebih jauh untuk mengatasi segala persoalan yang mampu menghambat penyelenggaraan otonomi dan desentralisasi.
Pengenalan permasalahan di lapangan – apakah itu dari aspek sosial, budaya, politik maupun ekonomi – ditujukan untuk mengantisipasikemampuan daerah dalam menyelenggarakan fungsi desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan teridentifikasinya permasalahan yang berkaitan dengan fungsi otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah kota mampu mengelola semua persoalan dan harapan publik sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga otonom.
Sementara itu permasalahan internal adalah semua persoalan yang muncul karena kondisi eksisting daerah, antara lain (1) lemahnya inisiatif dan produktifitas SDM Aparatur dan Masyarakat, sebagai akibat pengalaman pembangunan sentralistik yang inisiatif dan kebijakan ditentukan oleh pusat; (2) dana pembangunan selama ini tergantung pada alokasi dana dari pusat, sehingga tidak terdapat insentif kuat untuk mengoptimasi potensi PAD; (3) pemberdayaan potensi dari bawah ke atas (bottom up) belum menjadi fenomena ; (4) pengabaian pihakpihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan; (5) kemiskinan dan keterbelakangan akibat kualitas sumberdaya manusia masyarakat; (6) eksploitasi dan eksploirasi kekyaan alam yang berlebuhan; (70 orientasi ekonomi penduduk lebih condong ke sektor konsumtif dibandingkan dengan produktif. Mengungkap masalah-masalah otonomi daerah dari fenomena diatas, tidak luput mengungkap kewajiban, wewenang, dan hak daerah untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahan di bidang tertentu. Sesuai dengan semangat Undang-undang Pemerintah Daerah yang berlaku, maka prinsip yang dianut adalah otonomi yang nyata, bertanggungjawab, dan dinamis. Oleh karena itu, agar dapat menyelenggarakan fungsinya dengan benar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka pemerintah daerah terlebih dahulu harus mampu secara riil mengenali dan mengklasifikasi persoalan-persoalan yang mungkin dan eksisting ada, sehingga pemerintah daerah mampu mengelola dengan efektif dan efisien dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
B. Rumusan Masalah
Apa saja kompelksitas persoalan otonomi daerah di sulawesi tenggara?










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti Hubungan luar negeri, Pengadilan, Moneter dan keuangan, Pertahanan dan keamanan.
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan Daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
otonomi daerah adalah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik maupun kepentingan administrasi, dengan tetap menghormati keputusan/peraturan undang-undang (Lemieux, 1986)
otonomi daerah adalah sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat dan sebagai jalan untuk membina tanggung jawab daerah dalam melaksanakan tugasnya (Conyers, 1991)

B. Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” 7 direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

C. Otonomi Daerah di Indonesia
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

D. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. .Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah , sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah tidak ada lagi wilayah administrasi.
6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom.
7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.






BAB III
PEMBAHASAN

A. Permasalahan Otonomi Daerah di Sulawesi Tenggara
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
a. Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
Contoh kasus Tumpang tindih izin pengelolaan pertambangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Seperti kasus yang dialami PT Rio Tinto di Kabupaten Konawe, perlu segera disikapi kalau perlu dimintakan pendapat hukum ke MK. Seperti diketahui, perusahaan tambang kelas dunia PT Rio Tinto telah mendapatkan konsesi pertambangan di Konawe Sulawesi Tenggara, berdasarkan Kontrak Karya (KK). Negosiasi dengan pemerintah daerah (pemda) kabupaten maupun provinsi yang difasilitasi pemerintah pusat, telah dilangsungkan pada Mei 2006.
Namun perusahaan asal Australia itu sangat terkejut, ketika pada awal 2008 pihaknya mendapat kabar bahwa Bupati Konawe juga menerbitkan izin KP (Kuasa Pertambangan) untuk pengusaha swasta lainnya, diatas lahan KK tersebut. Berdasarkan kenyataan yang pahit itu, Rio Tinto telah mengajukan tindakan hukum ke PTUN di Palu dan Kendari untuk meminta pembatalan KP yang diterbitkan oleh Bupati Morowali dan Bupati Konawe.
Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, dalam jangka pendek langkah hukum ke PTUN sudah tepat. Namun dalam jangka panjang, harus ada dialog yang serius antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah guna mendapatkan jalan keluar dari persoalan tersebut. “Harus ada kesamaan visi antara pusat dan daerah, untuk mengembalikan iklim investasi kembali kondusif,” ujarnya.
Pemerintah daerah pasti tidak mau dipersalahkan karena berdasarkan PP 75/2001 memang memiliki kewenangan untuk memberikan izin KP. Sedangkan berdasarkan UU 11/1967 tentang Pertambangan, kewenangan pemerintah pusat untuk memberikan konsesi pertambangan melalui kontrak karya atau PK2KB, juga tidak berubah. Hal inilah yang menimbulkan tumpang tindih kewenangan yang mengakibatkan over lapping izin pertambangan.
Dalam kasus Rio Tinto misalnya, pemda seolah tak mau tahu bahwa sudah ada KK di atas lahan yang diserahkan kepada pihak swasta lain. Dengan demikian, korban utama dari konflik ini adalah investor. Maka dari itu, bagaimana pun pemerintah harus melindungi hak-hak investor agar tidak tercipta citra buruk investasi. Caranya dengan meminta MK (Mahkamah Konstitusi) mengadili sengketa kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
b. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
Era otonomi daerah bukan makin menyederhanakan rentang kendali dan jalur birokrasi pendidikan di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra). Paling tidak hal itu dialami pada guru, yang sebelum otonomi daerah diberlakukan biasanya menerima gaji setiap tanggal 1, tetapi kini malah mundur sampai tanggal 7 setiap bulannya.
Demikian keluhan para guru yang ditemui di sejumlah sekolah unggulan di Kabupaten Kendari, Kamis (24/10). Dua sekolah yang dimaksud adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri I Unaaha dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 2 Unaaha.
"Jumlah gaji yang kami terima memang utuh, tetapi pembayarannya tidak pernah lagi tepat waktu. Untung hal itu tidak membuat kinerja kami menurun," ujar Wakil Kepala SMU Negeri I Unaaha Drs M Akibra S.
Ungkapan senada dikemukakan secara terpisah oleh Wakil Kepala SLTP Negeri 2 Unaaha Drs Rustam Jaya dan stafnya, Drs La Baidu. Diduga kuat, masalah tersebut juga dialami guru-guru lainnya yang tersebar di pedalaman dan kepulauan pada empat kabupaten dan dua kota di wilayah Sultra, yakni Kabupaten Kendari, Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kolaka, Kota Kendari, dan Kota Baubau.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sultra Drs Kasim Ramali mengungkapkan, ada kecenderungan para bupati/wali kota berperilaku sebagai "raja-raja kecil" di daerah dengan mengentalkan pendekatan kekuasaan pada seluruh bidang, termasuk bidang pendidikan. Mestinya, katanya, dalam era otonomi pelayanan birokrasi makin sederhana dan tepat waktu, bukan justru sebaliknya.
Menurut Kasim, kalau Kabupaten Konawe saja yang bertetangga langsung dengan Kota Kendari (Ibu Kota Provinsi Sultra) mengalami masalah keterlambatan pembayaran gaji guru, bisa dibayangkan bagaimana kondisi di kabupaten yang terletak di pedalaman dan kepulauan.
Biaya operasional
Keterangan lain menyebutkan, dalam era otonomi daerah bukan cuma gaji guru yang terlambat. Anggaran rutin untuk biaya operasional sekolah juga mengalami penyusutan. Di SMU Negeri 1 Unaaha, misalnya, sebelum diberlakukan otonomi daerah setiap tahunnya menerima biaya operasional sekitar Rp 60 juta. Kini, anggaran itu menciut jadi Rp 50 juta. Padahal, sekolah tersebut membutuhkan peremajaan alat-alat laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). (NAR)
Contoh lain tentang masalah kurangnya pengadaan obat – obatan di RS Kabupaten Konawe, hal ini selalu disebabkan oleh masalah anggaran untuk pengadaan obat tidak ada.

c. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
Contoh kasus Dewan Sultra Sorot RSUD Sultra KENDARI, Ketua Komis IV DPRD Provinsi Sultra Yaudu Salam Ajo Spi menyorot RSUD Provinsi terkait asas transparansi dalam pelayanan publik. Menurutnya, rumah sakit itu harus berpikir lebih simpel dan transparan. "Keterbukaan terkait layanan publik sangat penting," tegasnya. Banyaknya sorotan media masalah minimnya pelayanan dan akses informasi idealnya dijadikan harus dilihat sebagai kritikan membangun. Jangan menjadikan dasar membatasi media melakukan fungsi kontrolnya terhadap SKPD Sultra ini. Kekurangan tenaga medis sebagaimana pihak rumah sakit karena berimbas pada kurang optimal layanan, menurut Sekretaris Fraksi PKS ini , masalah itu segera di sampaikan ke dewan agar dalam seleksi CPNS diusulkan ke BAKN. "Ini tentunya menjadi bahan pertimbangan dan prioritas dalam rekruitmen CPNS kedepan," terangnya. Dimintai tanggapannya masalah penanganan terhadap bayi dari keluarga tidak mampu yang menderita penyakit "khusus" seperti dilansir media ini pada senin (12/4) lalu, Yaudu mengungkapkan baiknya ada program dari pemerintah khusus menangani penyakit-penyakit parah dari keluarga tidak mampu. "Jamkesma dan Bahteramas hanya terbatas melayani penyakit biasa, namun penyakit yang membutuhkan penanganan khusus dan memerlukan biaya besar, mestinya ada jalur khusus yang menaunginya," jelasnya lagi Terkait mahalnya ongkos parkir RSUD melebihi ongkos parkir Bandara Haluoleo, Yaudu mengatakan akan segera mengkaji ulang Perda yang mengatur masalah parkiran. "Apalagi jika masalah ini dianggap sangat memberatkan masyarakat yang bermaksud datang berobat, tetapi mesti di bebani lagi dengan ongkos parkir yang mahal,"pungkasnya. P7/B/MUR
d. Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis.
e. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
Dari setiap pemilihan daerah di Sulawesi tenggara, para calon – calon elit daerah selalu mengatas namakan mereka sebagai putra daerah untuk mendapat simpatik dari masyarakat, yang jika dilihat sebenarnya dalam otononi daerah tidak harus putra daerah yang harus memimpin daerah tersebut. Sehingga banyak masyarakat yang salah mengartikan tentang otonomi daerah, bahwa daerah harus dipimpin oleh putra daerah. Yang dimana hal ini hanya kepentingan elit daerah agar dapat berkuasa.

f. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
g. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.
Banyak daerah yang mekar di provinsi sulawesi tenggara ini terjadi karena prakarsa dan inisiatif pemekaran dari masyarakat di daerah yang dimana pendukang – pendukung masyarakat ini agar daerahnya dapat mekar, dikompori oleh elit – elit daerah yang bermain dibelakangnya, yang hanya untuk mendapatkan kekuasaan.

h. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.













BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur pemerintahan daerah sesuai amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas pemberlakuan otonomi daerah, begitu pula dalam hal pembentukan daerah atau pemekaran wilayah.
b. Dalam sistem otonomi daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam pelaksanaannya, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
c. Pemberlakuan sistem otonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak positif maupun dampak negatif.
B. Saran
Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, pemerintah pusat juga harus menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai, demikian pula tentang pertimbangan keamanan.





















DAFTAR PUSTAKA
http://wp.transparansi.or.id/?p=72
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1J2P4Xh8C
www.slideshare.net/.../masalah-otonomi-daerah
www.docstoc.com › ... › Bureau of Economic Analysis
www.skripsi-tesis.com/.../restrukturisasi-kelembagaan-pemerintah-kabupaten-kendari-sulawesi-tenggara-sebagai-upaya-efisiensi-penyele...

etka administrasi negara

Reviw tugas Etika Administrasi Negara
Etika yang merupakan cabang dari filsafat adalah sebuah bidang studi yang
mempelajari penilaian baik-buruk dan boleh-tidak dari sebuah tindakan/perilaku manusia, etika biasa juga disebut sebagai filsafat moral.
Etika berasal dari bahasa Yunani: ethos, yang artinya kebiasaan atau watak. Menurut Robert C. Solomon etika merujuk pada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya dan dalam hal ini etika merupakan salah satu cabang filsafat. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Kemudian, menurut William K. Frankena etika merupakan salah satu cabang filsafat yang mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. Selanjutnya, De Vos secara eksplisit mengatakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan atau moral. Menurut Drs.Haryanto, MA., etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini berarti etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bahan kajian dari bidang studi etika beserta dengan jawabannya
1. Apa yang dimaksud dengan kebaikan itu?
• Kebaikan adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan ALLAH Azza wa Jalla.
2. Apa ukuran pasti perbuatan moral?
• Norma Agama, dalam hal ini kitab suci yang menjadi sumber petunjuknya
3. Apakah Penilaian baik dan buruk/boleh dan tidak hanya berlaku bagi manusia atau bagi seluruh alam semesta?
• Saya beranggapan bahwa penilaian baik dan buruk (etika) hanya berlaku bagi manusia, namun kami meyakini bahwa baik buruknya manusia pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan seluruh alam, karena manusia dengan segala kelebihannya dibanding makhluk lain, adalah pemimpin kehidupan.

4. Apakah patokan pertimbangan moral?
• Petunjuk agama,kondisi yang berlaku dan penilaian individu terkait.
5. Bagaimana pertimbangan moral yang dipengaruhi pertimbangan non
moral???
• Pencampuran antara keduanya tidaklah menjadi masalah, selama tidak keluar dari prinsip moralitas itu sendiri.
SUMBER (PROSES PEMBENTUKAN) & IMPLEMENTASI
ETIKA

Munculnya Etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku dapat terbentuk
dalam dua macam proses, yaitu :

1. Secara alamiah terbentuk dari dalam (internal) diri manusia karena
pemahaman dan keyakinan terhadap suatu nilai-nilai tertentu (khususnya agama / religi).
2. Diciptakan oleh aturan-aturan eksternal yang disepakati secara kolektif,
misalnya sumpah jabatan, disiplin, dan sebagainya. Sumpah jabatan dan peraturan disiplin PNS, pada gilirannya akan membentuk etika birokrasi. Sedangkan kasus Singapura menunjukkan bahwa etika berdisiplin (antri, membuang sampah) dibentuk oleh denda yang sangat besar bagi pelanggarnya.
Sementara itu, implementasi Etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku juga dapat dikelompokkan menjadi dua aspek, yakni internal (kedalam) dan eksternal (keluar). Dari aspek ‘kedalam’, seseorang akan selalu bertingkah laku baik meskipun tidak ada orang lain disekitarnya. Dalam hal ini, etika lebih dimaknakan sebagai moral. Sedangkan dalam aspek ‘keluar’, implementasi Etika akan berbentuk sikap / perbuatan / perilaku yang baik dalam kaitan interaksi dengan orang / pihak lain.
Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
Etika administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai asas etis, ukuran baku, pedoman perilaku, dan kebijakan moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas guna terselenggaranya pemerintahan yang baik bagi kepentingan rakyat.
Sebagai suatu bidang studi, kedudukan etika administrasi negara untuk sebagian termasuk dalam ilmu administrasi Negara dan sebagian yang lain tercakup dalam lingkungan studi filsafat. Dengan demikian etika admistrasi Negara sifatnya tidak lagi sepenuhnya empiris seperti halnya ilmu administrasi, melainkan bersifat normatif. Artinya etika administrasi Negara berusaha menentukan norma mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan fungsinya da memegang jabatannya.
Etika administrasi Negara karena menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan bangsa yang demikian penting harus berlandaskan suatu ide pokok yang luhur. Dengan demikian, etika itu dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan moral yang luhur pula. Sebuah ide agung dalam peradaban manusia sejak dahulu sampai sekarang yang sangat tepat untuk menjadi landasan ideal bagi etika administrasi Negara adalah Keadilan, dan memang inilah yang menjadi pangkal pengkajian Etika Admnistrasi Negara, untuk mewujudkan keadilan.
Karena masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya.
Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.
Etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi --- seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas --- dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasar etika --- mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu — dapat menjelaskan hakikat administrasi.
Peran etika birokrasi dalam administrasi baru mengambil wujud yang lebih terang relative belakangan ini saja, yakni kurang lebih dalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika ini terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan politik (political masters), ternyata administrasi juga memiliki kewenangan yang secara umum disebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalah apa jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara “benar” dan tidak secara “salah” atau secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasan dalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etika administrasi yang merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan itu. Dewasa ini telah tumbuh keprihatinan bukan saja terhadap individu-individu para birokrat, tetapi terhadap organisasi sebagai sebuah sistem yang memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan nilai-nilai. Apalagi birokrasi modern yang cenderung bertambah besar dan bertambah luas kewenangannya.
Masalah etika birokrasi dalam administrasi adalah masalah yang menjadi kepedulian dan keprihatinan para pakar di bidang ini. Ia menjadi masalah di negara yang paling maju sekalipun, yakni di negara seperti Amerika Serikat yang konstitusi dan gagasan-gagasan idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di banyak negara lain. negara-negara lain yang telah lanjut usianya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu persoalan dalam etika birokrasinya Namun, ternyata mereka tetap saja menghadapi masalah dalam birokrasinya, yang terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru membangun ditemukan pula masalah-masalah yang sama. Bahkan sulit untuk dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam, bahwa di negara berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar. Pandangan itu didukung oleh observasi yang umum dalam kondisi administrasi di negara- negara berkembang seperti antara lain sebagai berikut.
Pertama, belum tercipta tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya masalah etika seminimal mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan administrasinya, yang sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku umum.
Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan administrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM administrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.
Ketiga, administrasi hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak negara berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Baru belakangan ini saja negara-negara berkembang berupaya menerapkan dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip demokrasi ke dalam sistem politiknya. Itu pun masih banyak ragamnya dan masih banyak masalahnya. Dalam keadaan demikian, administrasi secara politis berperan lebih besar dibandingkan dengan di negara yang sistem demokrasinya telah lebih maju.
Dengan demikian, masalah etika birokrasi dalam administrasi negara yang sedang membangun jauh lebih rumit dibandingkan dengan masalah etika di negara yang sudah maju. Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika birokrasi.